·
Gandrung Banyuwangi
Gandrung Banyuwangi adalah salah satu kebudayaan tradisional
yang ada di daerah Kabupaten Banyuwangi. Jejer Gandrung itu sendiri berasal
dari bahasa osing (bahasa asli banyuwangi) yang artinya “Jejer” adalah
ditampilkan dan “Gandrung” adalah senang atau terpesonanya masyarakat
Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang
membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Tari jejer gandrung berasal di daerah Kemiren yaitu didaerah kaki gunung
Ijen. Tari ini dimainkan oleh beberapa remaja putri dengan serasi, elok dan
menawan.
Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa
syukur masyarakat setiap habis panen. Biasanya tari jejer gandrung ditampilkan
untuk menyambut tamu-tamu atau undangan yang berkunjung ke Banyuwangi. Kesenian
ini masih satu genre dengan seperti Ketuk Tilu di Jawa
Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian
barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung
di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari
bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan). Gandrung
merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan
budaya Jawa dan Bali. Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan
(penari gandrung) dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju"
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi
khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur
Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak
salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya,
Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung
dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.
Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti
perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun
tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan,
pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga
menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).
Sejarah
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah
gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh
tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita
penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun
Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti
“Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu
sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata,
akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru
dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.
Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan
oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte
(1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah
kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung
laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang
diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan
seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada
tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.
Menurut sejumlah sumber, kelahiran gandrung ditujukan
untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat,
berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti
oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama
panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan
menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh
para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak
gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan
menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan
eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.
Tata Busana Penari
Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda
dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaan Blambangan) yang
tampak.
a.
Bagian Tubuh
Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari
beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik
yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang
bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut
dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas.
Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian
pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain
berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.
b.
Bagian Kepala
Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang
disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi
ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra
Bima yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh
rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak
melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak
setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada
omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna
perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada
tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering
kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan
magis.
c.
Bagian Bawah
Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak
bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri
khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan
belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum
tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade
tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap
pertunjukannya.
Lain-lain
Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah
kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah
kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya
dalam bagian seblang subuh.
Musik Pengiring
Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu
buah kempul atau gong, satu
buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola, dua
buah kendhang, dan sepasang kethuk. Di samping itu, pertunjukan tidak
lengkap jika tidak diiringi panjak atau kadang-kadang disebut pengudang (pemberi
semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap
pertunjukan gandrung. Peran panjak dapat diambil oleh pemain
kluncing.
Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron
Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk kreasi dan
diiringi electone.
Tahapan-Tahapan Pertunjukan
Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian:
a.
Jejer
Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung.
Pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa
tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.
b.
maju atau ngibing
Setelah jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan
selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang
terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu
terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di
tengah-tengah. Sang gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya
satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari
gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.
Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan
penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan
dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repèn(nyanyian yang
tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh.
Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para
penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan
lagi.
c.
seblang subuh
Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian
pertunjukan gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan
beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang subuh. Dimulai dengan gerakan
penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang
dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil
menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya seblang lokento.
Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih
terhubung erat dengan ritual seblang, suatu ritual penyembuhan atau
penyucian dan masih dilakukan (meski sulit dijumpai) oleh penari-penari wanita
usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian seblang subuh kerap dihilangkan
meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup satu pertunjukan pentas
gandrung.
Perkembangan Terakhir
Kesenian gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi
gempuran arus globalisasi, yang dipopulerkan melalui media elektronik dan
media cetak. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun bahkan mulai mewajibkan setiap
siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian
Banyuwangi. Salah satu di antaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang
merupakan sempalan dari pertunjukan gandrung Banyuwangi. Itu merupakan salah
satu wujud perhatian pemerintah setempat terhadap seni budaya lokal yang
sebenarnya sudah mulai terdesak oleh pentas-pentas populer lain
seperti dangdut dan campursari.
Sejak tahun 2000, antusiasme seniman-budayawan Dewan
Kesenian Blambangan meningkat. Gandrung, dalam pandangan kelompok ini adalah
kesenian yang mengandung nilai-nilai historis komunitas Osing yang
terus-menerus tertekan secara struktural maupun kultural. Dengan kata lain,
Gandrung adalah bentuk perlawanan kebudayaan daerah masyarakat Osing.
Di sisi lain, penari gandrung tidak pernah lepas dari
prasangka atau citra negatif di tengah masyarakat luas. Beberapa kelompok
sosial tertentu, terutama kaum santri menilai bahwa penari Gandrung adalah
perempuan yang berprofesi amat negatif dan mendapatkan perlakuan yang tidak
pantas, tersudut, terpinggirkan dan bahkan terdiskriminasi dalam kehidupan
sehari-hari
.
Sejak Desember 200, Tari Gandrung resmi menjadi maskot
pariwisata Banyuwangi yang disusul pematungan gandrung terpajang di
berbagai sudut kota dan desa. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga
memprakarsai promosi gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat seperti
Surabaya , Jakarta , Hongkong, dan beberapa kota di Amerika Serikat.
·
Seblang
Seblang adalah salah satu ritual masyarakat Using yang hanya
dapat dijumpai di dua desa dalam lingkungan kecamatan Glagah, Banyuwangi, yakni
desa Bakungan dan Olihsari. Ritual ini dilaksanakan untuk keperluan bersih desa
dan tolak bala, agar desa tetap dalam keadaan aman dan tentram. Ritual ini sama
seperti ritual Sintren di wilayah Cirebon, Jaran Kepang, dan Sanghyang di Pulau
Bali.
Penyelenggaraan tari Seblang di dua desa tersebut juga
berbeda waktunya, di desa Olihsari diselenggarakan satu minggu setelah Idul
Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang bersebelahan, diselenggarakan seminggu
setelah Idul Adha.
Para penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun
setempat, dan biasanya penari harus dipilih dari keturunan penari seblang
sebelumnya. Di desa Olihsari, penarinya haruslah gadis yang belum akil baliq,
sedangkan di Bakungan, penarinya haruslah wanita berusia 50 tahun ke atas yang
telah mati haid (menopause).
Tari Seblang ini sebenarnya merupakan tradisi yang sangat
tua, hingga sulit dilacak asal usul dimulainya. Namun, catatan sejarah
menunjukkan bahwa Seblang pertama yang diketahui adalah Semi, yang juga menjadi
pelopor tari Gandrung wanita pertama (meninggal tahun 1973). Setelah sembuh
dari sakitnya, maka nazar ibunya (Mak Midah atau Mak Milah) pun harus dipenuhi,
Semi akhirnya dijadikan seblang dalam usia kanak-kanaknya hingga setelah
menginjak remaja mulai menjadi penari Gandrung.
Tari Seblang ini dimulai dengan upacara yang dibuka oleh
sang dukun desa atau pawang. Sang penari ditutup matanya oleh para ibu-ibu yang
berada dibelakangnya, sambil memegang tempeh (nampan bamboo). Sang dukun
mengasapi sang penari dengan asap dupa sambil membaca mantera. Setelah sang
penari kesurupan (taksadarkan diri atau kejiman dalam istilah lokal), dengan
tanda jatuhnya tempeh tadi, maka pertunjukan pun dimulai. Si seblang yang sudah
kejiman tadi menari dengan gerakan monoton, mata terpejam dan mengikuti arah
sang pawang atau dukun serta irama gendhing yang dimainkan. Kadang juga
berkeliling desa sambil menari. Setelah beberapa lama menari, kemudian si
seblang melempar selendang yang digulung ke arah penonton, penonton yang
terkena selendang tersebut harus mau menari bersama si Seblang. Jika tidak,
maka dia akan dikejar-kejar oleh Seblang sampai mau menari.
Musik pengiring Seblang hanya terdiri dari satu buah kendang,
satu buah kempul atau gong dan dua buah saron. Sedangkan di Olihsari ditambah
dengan biola sebagai penambah efek musikal.
Dari segi busana, penari Seblang di Olihsari dan Bakungan
mempunyai sedikit perbedaan, khususnya pada bagian omprok atau mahkota.
Pada penari Seblang di desa Olihsari, omprok biasanya
terbuat dari pelepah pisang yang disuwir-suwir hingga menutupi sebagian wajah
penari, sedangkan bagian atasnya diberi bunga-bunga segar yang biasanya diambil
dari kebun atau area sekitar pemakaman, dan ditambah dengan sebuah kaca kecil
yang ditaruh di bagian tengah omprok.
Pada penari seblang wilayah Bakungan, omprok yang dipakai
sangat menyerupai omprok yang dipakai dalam pertunjukan Gandrung, hanya saja
bahan yang dipakai terbuat dari pelepah pisang dan dihiasi bunga-bunga segar
meski tidak sebanyak penari seblang di Olihsari. Disamping unsure mistik,
ritual Seblang ini juga memberikan hiburan bagi para pengunjung maupun warga
setempat, dimana banyak adegan-adegan lucu yang ditampilkan oleh sang penari
seblang ini
·
Janger
Janger kadang disebut Damarwulan atau Jinggoan, merupakan
pertunjukan rakyat yang sejenis dengan ketoprak dan ludruk. Pertunjukan ini
hidup dan berkembang di wilayah Banyuwangi, Jawa Timur serta mempunyai lakon
atau cerita yang diambil dari kisah-kisah legenda maupun cerita rakyat lainnya.
Selain itu juga sama-sama dilengkapi pentas, sound system, layar/ tirai,
gamelan, tari-tarian dan lawak. Serta pembagian cerita dalam babak-babak yang
dimulai dari setelah Isya hingga menjelang Subuh.
Sejarah
Pada abad ke-19, di Banyuwangi hidup suatu jenis teater
rakyat yang disebut Ande-Ande Lumut karena lakon yang dimainkan adalah lakon
Andhe-Andhe Lumut. Dan dari sumber cerita dari mulut ke mulut, pelopor lahirnya
Janger ini adalah Mbah Darji, asal Dukuh Klembon, Singonegaran, Banyuwangi
kota. Mbah Darji ini adalah seorang pedagang sapi yang sering mondar-mandir
Banyuwangi-Bali, dan dari situ dia tertarik dengan kesenian teater Arja dan dia
pun berkenalan dengan seniman musik bernama Singobali yang tinggal di
Penganjuran, dari situlah kemudian terjadi pemaduan antara teater Ande-Ande
Lumut dengan unsure tari dan gamelan Bali, sehingga lahirlah apa yang disebut
Damarwulan Klembon atau Janger Klembon.
Semenjak itu, mulai lahir grup-grup Damarwulan di seantero
Banyuwangi. Mereka bukan hanya memberikan hiburan, namun juga menyisipkan
pesan-pesan perjuangan untuk melawan penjajah dengan kedok seni. Di masa
revolusi, kerap kali para pejuang kemerdekaan menyamar sebagai seniman Janger
untuk mengelabui Belanda dan para mata-matanya.
Menurut Dasoeki Nur, seorang pelaku kesenian Janger, teater
ini juga sempat berkembang hingga melampaui wilayah Banyuwangi sendiri. Bahkan
menurutnya lagi, pada tahun 1950an pernah berdiri dua kelompok Janger yang
berada di wilayah Samaan, dan Klojen, kota Malang.
Paradoks Karakter Minakjinggo
Dalam wacana masyarakat Banyuwangi, karakter Minakjinggo
digambarkan sangat berlawanan dengan apa yang diyakini masyarakat Jawa pada
umumnya (berdasarkan cerita-cerita seperti Serat Damarwulan). Digambarkan
Minakjinggo merupakan sosok yang bertemperamen buruk, kejam dan
sewenang-wenang. Disamping buruk rupa, pincang, suka makan daun sirih dan
lancing meminang Sri Ratu Kencanawungu (Ratu Majapahit).
Menurut pandangan masyarakat Banyuwangi, Minakjinggo
digambarkan sebagai sosok yang rupawan, digandrungi banyak wanita, arif,
bijaksana dan pengayom rakyatnya. Mengapa Minakjinggo memberontak? Menurut para
sesepuh Banyuwangi itu lebih dikarenakan dia menagih janji Kencana Wungu untuk
menjadikannya suami, setelah mampu mengalahkan Kebo Marcuet, dan dimenangkan
oleh Minakjinggo. Wajah Minakjinggo menjadi rusak karena terluka pada saat
bertarung dengan Kebo Marcuet, dan demi melihat wajah Minakjinggo yang rusak,
maka Kencana Wungu menolak dan akhirnya Minakjinggo memberontak.
Pandangan inilah yang berupaya diluruskan, mengingat citra
Minakjinggo yang buruk dalam catatan legenda Serat Damarulan. Keabsahan Serat
Damarwulan dengan legenda-legendanyapun masih simpang siur, dan data masih
kurang lengkap.
Keunikan Teater Janger
Teater Janger Banyuwangi ini merupakan salah satu kesenian
hibrida, dimana unsure Jawa dan Bali bertemu jadi satu didalamnya. Gamelan,
kostum dan gerak tarinya mengambil budaya Bali, namun lakon cerita dan bahasa
justru mengambil dari budaya Jawa. Bahasa yang dipergunakan dalam kesenian ini
adalah bahasa Jawa Tengahan yang merupakan bahasa teater ketoprak. Namun pada
saat lawakan, digunakan bahasa Using sebagai bahasa pengantar. Lakon ceritanya
pun justru diambil dari Serat Damarwulan yang dianggap penghinaan terhadap
masyarakat Banyuwangi, yang anehnya malah berkembang subur.
Lakon atau Cerita
Lakon atau cerita yang akan dipentaskan, disesuaikan dengan
permintaan penanggap atau scenario kelompok itu sendiri. Lakon yang paling
banyak dipentaskan antara lain, Cinde Laras, Minakjinggo Mati, Damarulan
Ngenger, Damarulan Ngarit, dan lain sebagainya. Selain dari cerita panji, lakon
juga diambil dari legenda rakyat setempat seperti Sri Tanjung dan kadang
cerita-cerita bernuansa Islam.
Busana
Busana pemain disesuaikan dengan peran mereka. Pada peran
prajurit, raja, panglima dan tokoh kalangan atas biasanya menggunakan busana
khas Bali yang biasa dipakai dalam pertunjukan Arja. Sedangkan kaum wanita
istana memakai busana Bali yang dimodifikasi, yakni kuluk yang dihias bunga kamboja
dengan manik-manik, ter atau penutup dada, dan biasanya memakai kain jarit
berwarna mengkilap. Yang unik, peran rakyat jelata justru memakai busana khas
Jawa.
Tari pengiring
Tari-tarian yang menjadi pengiring dalam pertunjukan Janger
ini bervariasi. Bisa dibuka dengan tari-tarian khas Bali, seperti pendet,
legong, baris , atau tari-tarian khas Banyuwangi seperti Jejer Gandrung, Jaran
Goyang, Seblang Lokento dan lain sebagainya.
Perkembangan saat ini
Diperkirakan ada sekitar 60an kelompok Janger yang masih
eksis saat ini. Meski kondisinya memang senin-kamis, sebagai dampak modernisasi
yang makin marak. Kelompok Janger Banyuwangi yang cukup popular di wilayah
tersebut antara lain Temenggung Budoyo dari kota Banyuwangi, Madyo Utomo dari
desa Bubuk, Kec. Rogojampi, dan Patoman dari desa Blimbingsari, Kec. Rogojampi.
·
Rengganis
Rengganis adalah kesenian drama
tadisional yang berkembang di Banyuwangi, diperkirakan berasal dari Kerajaan
Mataram Islam. Sebetulnya masalah nama kesenian tersebut di Banyuwangi sangat
beragam, ada yang menyebut Prabu Roro, ada yang juga yang menyebut Umar Moyo.
Namun ada benang merahnya, yaitu nama-nama tersebut mengacu kepada nama tokoh
yang diangkat dalam kesenian tersebut. Antara lain Putri Rengganis dan Prabu
Roro seorang raja putri dan adipati Umar Moyo dari kerajaan Guparman.
Namun hingga saat ini belum ada penelitian yang mengakitkan
dengan keberadaan kesenian serupa yang sampai sekarang masih berkembang di daerah
Bantul dan Sleman Yogyakarta. Sementara cerita yang diangkat dari kesenian
"Rengganis" diambil dari buku Serat Menak. Tokoh-tokoh yang populer
dalam kesenian Rengganis adalah Jemblung, abdi Umar Moyo, Lam Dahur (kalau
dalam pewayangan mirip Werkudoro) Pati Tejo Matal, Jayengrono.
Selain unsur-unsur Islam yang sangat menonjol dalam kesenian
tersebut, juga ada kalimat-kalimat mantra yang sering diuncapkan Umar Moyo saat
meminta kekuatan senjata pamungkasnya, yaitu Kasang Tirto Nadi. Umar Moyo
Selalu berucap "Laillah Hailalloh Nabi Ibrohim Kamilulloh. Mbal-Gambal
Mustoko malih. Sang Kasang Tirtyo Nadi, aku njaluk panguasamu kasang iso
....."
Setiap tokoh mempunyai karasteristik, seperti tokoh
pewayangan. Teknik pentas dan jejer, atau sampa'an seperti dalam wayang orang.
Setiap adegan, tokoh suatu kerajaan akan keluar bersama-sama. Kecuali
permasuiri, Raja dan para patik. Tari setiap tokoh juga mempunyai ciri khas
tersendiri, begitu juga gending musik pengiring.
·
Hadrah Kunthulan
·
Patrol
·
Mocopatan Pacul Goang
·
Jaranan Butho
·
Barong
·
Kebo-Keboan
·
Angklung Caruk
·
Gedhogan
·
Batik
Kabupaten Bojonegoro
·
Tari Tayub
Tari Tayub atau acara Tayuban. merupakan salah satu kesenian
Jawa yang mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Tarian ini mirip
dengan tari Jaipong dari Jawa Barat. Unsur keindahan diiikuti dengan kemampuan penari
dalam melakonkan tari yang dibawakan. Tari tayub mirip dengan tari Gambyong
yang lebih populer dari Jawa Tengah. Tarian ini biasa digelar pada acara pernikahan,
khitan serta acara kebesaran misalnya hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Perayaan kemenangan dalam pemilihan kepala desa, serta acara bersih desa.
Anggota yang ikut dalam kesenian ini terdiri dari sinden, penata gamelan serta
penari khususnya wanita. Penari tari tayub bisa dilakukan sendiri atau bersama,
biasanya penyelenggara acara (pria). Pelaksanaan acara dilaksanakan pada tengah
malam antara jam 9.00-03.00 pagi. Penari tarian tayub lebih dikenal dengan
inisiasi ledhek. tari tayub merupakan tarian pergaulan yang disajikan untuk
menjalin hubungan sosial masyarakat. beberapa tokoh agama islam menganggap tari
tayub melanggar etika agama , dikarenakan tarian ini sering dibarengi dengan
minum minuman keras. pada saat menarikan tari tayub sang penari wanita yang disebut
ledek mengajak penari pria dengan cara mengalungkan selendang yang disebut
dengan sampur kepada pria yang diajak menari tersebut. serinng terjadi
persaingaan antara penari pria yang satu dengan penari pria lainnya, persaingan
ini ditunjukkan dengan cara memberi uang kepada Tledek (istilah penari tayub
wanita).persaingan ini sering menimbulkan perselisihan antara penari pria.
Pertunjukan tari ini banyak dipergunakan untuk meramaikan
kegiatan hajatan yang banyak dilaksanakan oleh warga Bojonegoro ataupun
kegiatan kebudayaan yang lain. Biasanya dalam mengadakan kegiatannya, tarian
tayub ini sudah terkoordinasi dalam suatu kelompok tertentu dengan nama khas
masing-masing.
Biasanya kelompok-kelompok tari tayub ini banyak terdapat di
Kecamatan Temayang dan Bubulan yang terletak sekitar 30 Km dari Kecamatan Kota
Bojonegoro.
·
Wayang Thengul
Wayang Thengul adalah kesenian wayang khas ponorogo yang
populer juga di bojonegoro. dalam bentuk 3 dimensi dengan diiringi gamelan
pelog/slendro seperti halnya reog ponorogo.
Walaupun wayang thengul ini jarang dipertunjukkan lagi,
tetapi keberadaannya tetap dilestarikan di Kabupaten Bojonegoro, khususnya di
Kecamatan Kanor yang berasalkan dari kata KANORAGAN karena pada ssat itu warok
ponorogo menunjukan kekuatab kanoragaanya di sela- sela pentas reog ponorogo
dan wayang thengul, daerah ini yang berjarak ± 40 Km dari Kota Bojonegoro.
Sedangkan jalan cerita dari wayang thengul ini lebih banyak mengambil warok
suromenggolo dan sekitarnya.
Kabupaten Gresik
·
rebo wekasan
·
malem selawe
·
pasar bandeng
Kabupaten Nganjuk
·
Wayang Timplong
·
Tari mung dhe
Tari Mung Dhe adalah tari
tradisional yang berasal dari Desa Garu, kecamatan Baron, Nganjuk. Dalam tari
ini bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air, heroik, patriotisme. Selain
itu tari ini berkaitan erat dengan kalahnya prajurit Diponegoro yang dipimpin
oleh Sentot Prawirodirdjo).
Dalam tari ini menggambarkan beberapa prajurit yang sedang
berlatih perang yang lengkap dengan orang yang membantu dan memberi semangat
kepada kedua belah pihak yang sedang latihan. Pihak yang membantu dan memberi
semangat, di sebut botoh. Botohnya ada dua yaitu penthul untuk pihak yang
menang dan tembem untuk pihak yang kalah. Sikap dan tingkah laku kedua botoh
ini gecul atau lucu, sehingga membuat orang lain yang menyaksikan tari Mung
Dhe, terkesan tegang dan kadang merasa geli, karena yang berlatih perang
memakai pedang, sedangkan botohnya lucu .
Secara keseluruhan, tari Mung Dhe melibatkan 14 pemain
dengan masing-masing peran pada awalnya, yaitu :
a.
2 orang berperan sebagi penari /prajurit.
b.
2 orang berperan sebagi pembawa bendera.
c.
2 orang berperan sebagai botoh
d.
8 orang berperan sebagai penabuh /pengiring.
Pada perkembanganya sekarang hanya melibatkan 12 orang,
yaitu 6 alat untuk 6 orang pemain. Di dalam pengaturan organisasi tari Mung Dhe
untuk penarinya adalah laki-laki serta perempuan dan dalam tingkatan usia
dewasa [baik yang menikah atau yang belum]. Pada perkembangan sekarang ini,
tari Mung Dhe sering ditampilkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Nganjuk, seperti Pemilihan Duta
Wisata, maupun Grebeg Suro, maupun Jamasan Pusaka, serta saat Upacara Wisuda
(gembyangan-red) Waranggono
·
Jaranan
Kabupaten Lamongan
·
Pengentin Bekasri
Daerah lamongan memiliki tradisi sendiri dalam melaksankan
upacara pernikahan, pernikahan di Lamongan ini disebut pengantin bekasri.
berasal dari kata bek dan asri, bek berarti penuh, asri berarti indah/menarik
jadi bekasri berarti penuh dengan keindahan yang menarik hati. pada dasarnya
tahapan dalam pengentin bekasri dapat dijadikan dalam empat tahap yaitu tahap
mencari mantu, tahap persiapan menjelang peresmian pernikahan, tahap
pelaksanaan peresmian pernikahan dan tahap setelah pelaksanaan pernikahan.
Tahap mencari mantu terdiri dari beberapa kegiatan
yaitu, (1) ndelok/nontok atau madik/golek lancu. (2) nyotok/ganjur atau nembung
gunem. (3) nothog/dinten atau negesi. (4) ningseti/lamaran. (5) mbales/totogan.
(6) mboyongi. (7) ngethek dina. Tahap persiapan menjelang peresmian pernikahan
meliputi, (1) repotan (2) mbukak gedhek atau mendirikan terop (3) ngaturi atau
selamatan. Tahapa pelaksanaan peresmian pernikahan terdiri dari (1) ijab kabul
atau akad nikah (2) memberikan tata rias atau busana pengentin (3) upacara temu
pengantin (4) resepsi. Tahapan setelah peresmian pernikahan yang merupakan
tahapan terakhir adalah sepasaran.
Semua kegiatan masing-masing tahapan ini dapat
dilaksanakan secara penuh tetapi juga dapat dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang
dianggap penting dan disesuaikan dengan situasi kondisi lokal setempat. Pada
tahapan pelaksanaan kegiatan, kedua pengantin merupakan pusat perhatian semua
tamu yang hadir, pengantin perlu dirias dan diberi busana yang lain dari busana
sehari-hari. tata rias dan busana pengantin bekasri memiliki keunikan
tersendiri yang pada dasarnya meniru busana raja dan permaisuri atau busana
bangsawan. Karena daerah Lamongan pada jaman kerajaan Majapahit merupakan
wilayah yang dekat dengan ibukota Majapahit, maka busana yang ditiru dengan sendirinya
adalah busana raja dan permaisuri Majapahit.
·
Tari Turunggo Sulah
Tari ini menggambarkan sekelompok prajurit berkuda yang
sedang berlatih. Mereka terlihat sangat lincah. Tari ini merupakan pengembangan
dari kesenian Kepang Dor yang bertujuan untuk melestarikan kesenian-kesenian
yang masih sangat banyak di Kabupaten Lamongan.
Tari Turonggo Solah juga berasal dari Lamongan. Tari
Turonggo dapat ditampilkan dalam bentuk tunggal, berpasangan, atau secara
kelompok. Tema yang dipergunakan Tari Turonggo Solah adalah tema pendidikan,
yang dilatar belakangi dari Tari Kepang Jidor. Dalam penampilannya, Tari
Turonggo Solah memiliki dua gaya, yaitu gaya feminim dan gagah. Penarinya
membawa properti kuda-kudaan atau kuda lumping yang terbuat dari bahan
bambu.Tari Turonggo Solah berkarasteristik gerakannya lincah dan gagah.
Tarian ini sering disajikan sebagai tari pertunjukkan dengan
iringan musik gamelan jawa, akan tetapi yang lebih dominan adalah alat musik
jidor. Busana penari memakai gaya Jawa Timuran
( Gaya Surabayaan).
Penata Tari : Sutrisno S.Pd.
Penata Musik : Sariono S.Sn.
Perlengkapan Tari :
a.
Ikat kepala
b.
Jamang
c.
Baju
d.
Celana
e.
Kalung
f.
Post dekker
g.
Stagen
h.
Sabuk
i.
Rapek
j.
Ilat - ilatan
k.
Kain waron
l.
Kain panjang
Jenis alat musik untuk mengiringi tarian Turonggo Solah nyanyian
atau vokal manusia seperangkat gamelan jawa berlaras slendro atau pelog.
·
Tari Caping Ngancak
Tari ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat Lamongan
yang sebagian besar adalah masyarakat petani. Tari ini menggambarkan proses
para petani yang sedang bekerja mulai dari menanam, merawat, hingga memanen.
Prestasi tari : Fenomenal, itulah kata yang pantas diucapkan
terkait prestasi Lamongan beberapa tahun terakhir ini di bidang seni tari.
Buktinya, satu lagi tari produk Lamongan, yakni Caping Ngancak berhasil menjadi
juara I dalam festival seni tari siswa tingkat nasional di Bandung Kamis (24/7)
malam.
Tari Caping Ngancak maju ke bandung mewakili Jawa Timur dan
akhirnya mampu menyisihkan kontestan lain dari 33 propinsi se-Indonesia.
Sebelum terpilih menjadi juara tari Caping Ngancak masuk lima besar.
Diantaranya bersaing dengan Provinsi Banten, Jawa Barat, Sumatera, dan
Kalimantan selatan.
Dalam pelaksanaan lomba kemarin para siswi SMPN 1
Kembangbahu dihadapkan pada para juri yang berasal dari STSI Bandung, IKJ, dan
Departemen Pendidikan nasional (Depdiknas) sebagai pelaksana festival. Acara
ini berlangsung 23 dan 24 juli di STSI Bandung, dibuka oleh Wakil Gubernur
Jabar Dede Yusuf.
Tari Caping Ngancak menceritakantentang kehidupan dan
kegiatan sehari-hari petani. Antara lain, berangkat dari rumah, bertanam padi,
hingga panen. Tari ini disusun sekitar April lalu. sebulan setelah diciptakan
diikutkan dalam festival budaya Adikara II di malang dan meraih tiga dari lima
nominasi disediakan.
·
Tari Silir - Silir
Satu lagi seni tari asal Lamongan mempersembahkan prestasi
membanggakan, setelah tari nasi boranan berhasil menjadi juara umum lomba seni
tari se-Jawa Timur, tari Silir-silir kembali mengangkat nama Lamongan dalam
bidang seni tari setelah tarian yang dibawakan siswi SMPN 1 Tikung dinilai
sebagai yang terbaik se-Jawa Timur.
Seperti namanya tari silir-silir merupakan rangkaian
perwujudan angin yang bertiup lembut. Angin tersebut berasal dari lambaian
lembut kipas para penarinya. Oleh sebab itu tari silir-silir diperagakan oleh
penari dengan membawa kipas.
Tarian silir-silir diciptakan oleh Tri Kristiani seorang
guru di SMPN 1 Tikung, ia mengaku menyelesaikan rangkaian gerakan tari tersebut
selama sebulan. Kemudian ia mengajarkannya kepada para siswinya, yang kemudian
diputuskan untuk tampil di festival seni tari tingkat Jawa Timur.
Mengenai ide penciptaan tarian silir-silir itu, Tri
Kristiani mengatakan, ide seni tari tersebut muncul dari kondisi alam Lamongan
yang panas sering membuat kegerahan. Karena itu, baik yang dirumah, di sekolah,
atau di pasar sekalipun orang sering kipas-kipas karena kepanasan. Sedangkan
selama proses penciptaan beberapa masukan dari rekan Tri Kristiani juga membuat
rangkaian seni tari ini semakin bagus. Selain itu ia juga berkoordinasi dengan
penata busana Ninin dan penata musik Purnomo, sehingga terciptalah seni tari
silir-silir yang akhirnya menjadi yang terbaik se-Jatim.
Tari Silir-Silir diangkat dari sebuah kondisi alam Kota
Lamongan yang panas. Para remaja berkumpul, bercanda ria sambil menikmati
tiupan angin yang berasal dari kipas yang dibawanya.
Penata Tari : Tri kristiani, S.Sn
Penata Iringan : Purnomo, A.Ma.Pd
·
Tari Sego Boran
Tari BORAN (Sego Boran) adalah penggambaran suasana
kehidupan para penjual Nasi Boran di Kabupaten Lamongan dalam menjajakan
dagangannya dan berinteraksi dengan pembeli. Kesabaran, gairah, dan semangat
serta ketangguhan adalah smangat mereka dalam menghadapi ketatnya persaingan
dan beratnya tantangan hidup untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Iwak kutuk,
sambel, sili, plethuk, peyek, gimbal, empuk adalah ciri khasku, Nasi Boran khas
Lamongan.
Penata Tari : Ninin Desinta Y, S.Sn
Penata Iringan : Sarono, S.Sn
·
Tari Mayang Madu
Tari ini menceritakan tentang perjalanan Wali Songo yang
menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Penyebarannya melalui kesenian, salah
satunya dengan musik. Musik yang dipakai adalah Singo Mengkok. Tari mayang Madu
berasal dari daerah Lamongan. Tari ini biasa ditampilkan dalam bentuk tari
tunggal, tari kelompok, maupun tari massal.
Tari Mayang Madu mempunyai konsep islami dan tradisional,
karena Tari Mayang Madu diilhami dari kegigihan syiar agama islam di Lamongan
yang disebarkan oleh Sunan Drajat dengan cara menggunakan gamelan sebagai
medianya. Gamelan Sunan Drajat terkenal dengan sebutan gamelan "Singo
Mengkok". Latar belakang Sunan Drajat menggunakan media seni karena pada
saat itu masyarakat banyak yang masih memeluk agama Hindu, Budha dan pengaruh
dari kerajaan Majapahit.
Nama tari Mayang Madu diambil dari sejarahnya Raden Qosim
yang memimpin dan memberi teladan yang baik untuk kehidupan di Desa Drajat
Paciran. Lalu Sultan Demak ( Raden Patah ) memberi gelar kepada Raden Qosim
yaitu "Sunan Mayang Madu" pada tahun 1484 Masehi. Untuk mengenag jasa
perjuangan Sunan Mayang Madu ( Raden qosim ), maka tarian khas Lamongan disebut
dengan Tari Mayang Madu, agar masyarakat Lamongan tergugah hatingya untuk tetap
meneruskan perjuangan Sunan Mayang Madu dalam menyebarkan agama islam.
Penata Tari : Arif Ansori.
Penata Musik : Suwandi S,Sn.
Busana Tari Mayang Madu:
a.
Kerudung Polos+kerudung biasa
b.
Hiasan Kerudung
c.
Anting-anting
d.
Baju berlengan panjang
e.
Sabuk
f.
Epek
g.
Kemben
h.
Rok panjang
i.
Celana
j.
Keunikan Tari Mayang Madu:
k.
Improfisasi pada gerak bagian pertama
l.
Gerak tari bisa juga menggunakan lagu shalawatan
m.
Musik gamelan dan shalawatan teradu dengan musik
rebana
n.
Busana sesuai dengan nuansa islami
o.
Sifat Tarinya lemah lembut, gemulai, dan juga
pejuang
p.
Rias wajah cantik karena berkarakter putri
·
Tari Kiprah Bahlun
Tari ini merupakan tari pembuka dalam kegiatan kesenian
tayub khas Lamongan. Tari ini menceritakan tentang ucapan rasa syukur terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
Penata Tari : Sri Wahyuni Kurnia S.Sn
Penata Musik : Sugeng Santoso
·
Tari Sinau
Tari ini menceritakan sekelompok anak yang sedang menimba
ilmu agama Islam, atau biasa disebut mengaji. Mereka berbondong bondong untuk
mempelajari agama Islam, yang merupakanb tradisi masyarakat Lamongan untuk
menimba ilmu agama sejak dini.
Penata Tari : Arif Ansori.
Penata Musik : Suwandi S,Sn.
Kabupaten Ngawi
- Tari Orek Orek
- Tari Kecetan
- Dongkrek
- Wayang Krucil
Wayang krucil pertama kali diciptakan oleh Pangeran Pekik
dari Surabaya dari bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering
disebut dengan Wayang Krucil. Wayang ini dalam perkembangannya menggunakan
bahan kayu pipih (dua dimensi) yang kemudian dikenal sebagai Wayang Klithik.
Di daerah Jawa Tengah wayang krucil memiliki bentuk yang
mirip dengan wayang gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris, dan
menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Sedangkan, di Jawa Timur tokoh-tokohnya
banyak yang menyerupai wayang kulit purwa , raja-rajanya bermahkota dan memakai
praba. Di Jawa Tengah, tokoh-tokoh rajanya bergelung Keling atau Garuda Mungkur
saja.
Cerita yang dipakai dalam wayang krucil umumnya mengambil
dari zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman Prabu Brawijaya di
Majapahit. Namun, tidak menutup kemungkinan wayang krucil memakai cerita wayang
purwa dan wayang menak, bahkan dari babad tanah jawa sekalipun.
Gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan
wayang ini amat sederhana, berlaras slendro dan berirama playon bangomati
(srepegan). Namun, ada kalanya wayang krucil menggunakan gendhing-gendhing
besar.
Tokoh Wayang Klithik/Krucil
a.
Damarwulan
b.
Menakjingga
c.
Layangseta
d.
Layang Kumitir
e.
Logender
f.
Prabu Kencanawungu
g.
Patih Udara
h.
Wahita
i.
Puyengan
j.
Adipati Sindura
k.
Menak Koncar
l.
Ranggalawe
m.
Buntaran
n.
Watangan
o.
Anjasmara
p.
Banuwati
q.
Panjiwulung
r.
Sabdapalon
s.
Nayagenggong
t.
jaka Sesuruh
u.
Prabu brawijaya
v.
Angkatbuta
w.
Ongkotbuta
x.
Dayun
y.
Melik
z.
Klana Candrageni
aa.
Klanasura
bb. Ajar
Pamengger
cc.
Dewagung Walikrama
dd. Dewagung
Baudenda
ee. Daeng
Marewah
ff.
Daeng Makincing
Kabupaten Pameksan
·
Nisfu Sya'ban
·
upacara petik laut
·
tari Pecot
·
tari samper nyecceng
·
tari dhanggak
·
tari rondhing
·
tari mekar sareh
·
tari sekar kedaton
·
tari topeng gethak
·
gamelan tabuan kenek
·
remo mekassan
·
batik tulis di Kecamatan Proppo, Kecamatan
Palengaan, Kecamatan Pamekasan
·
Karapan Sapi Pasangan sapi jantan
·
Kontes Sapi Sonok Pasangan sapi betina
·
Reog Ponorogo
Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari
Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang
sebenarnya. Gerbang kota ponorogo dihiasi olehwarok dan gemblak, dua sosok yang
ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah
Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu
kebatinan yang kuat
Ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat
tentang asal-usul Reog dan Warok
, namun
salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki
Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit
terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat
dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Cina, selain itu juga murka
kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan
Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan
perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu
kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini
akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa
pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki
Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan
"sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog
menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan
kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala
singa yang dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi
simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga
menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya
yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh
kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan
pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan
warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki
Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih
dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya
.
Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil
tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat
diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun
murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun
begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena
sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya
memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat
Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita
tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning,
namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri.
Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak
Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok
(pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu
hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan
Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari
dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya
.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang
menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam
pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya
aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun
menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya
tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan
Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
Pementasan seni reog
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa
seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo
terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama
biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam,
dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang
pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki
kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari
laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang atau
jathilan, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping.
Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian
oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu yang disebut Bujang Ganong atau
Ganongan.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan
inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika
berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan.
Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario
yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang
(biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang
seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain
tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah
memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai
topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung
merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa
oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain
diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan
spiritual seperti puasa dan tapa
Komponen Penari dalam Reog
Ada 5 komponen penari dalam tari Reog Ponorogo, yaitu: 1.
Prabu Kelono Sewandono 2. Patih Bujangganong 3. Jathil 4. Warok 5. Pembarong
1. Prabu Kelono Sewandono
Prabu Kelono Sewandono ini adalah tokoh utama dalam tari
Reog Ponorogo. Beliau digambarkan sebagai seorang Raja yang gagah berani dan
bijaksana, digambarkan sebagai manusia dengan sayap dan topeng merah. Beliau
memiliki senjata pamungkas yang disebut Pecut Samandiman.
2. Patih Bujangganong
Patih bujangganong adalah patih dari Prabu Kelono Sewandono,
merupakan tokoh protagonis dalam tarian ini. Dia digambarkan sebagai patih yang
bertubuh kecil dan pendek, namun cerdik dan lincah. Patih Bujangganong disebut
juga penthulan. Penarinya tidak memakai baju, hanya rompi berwarna merah
dan topeng berwarna merah juga.
3. Jathil
Jathil atau Jathilan adalah sepasukan prajurit wanita
berkuda. Dalam tari Reog Ponorogo, penari Jathil adalah wanita. Mereka
digambarkan sebagai prajurit wanita yang cantik dan berani. Kostum yang
dikenakan penari Jathil adalah kemeja satin putih sebagai atasan dan jarit
batik sebagai bawahan. Mereka mengenakan udheng sebagai penutup
kepala dan mengendarai kuda kepang (kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman
bambu)
4. Warok
Warok adalah pasukan Kelono Sewandono yang digambarkan
sebagai orang yang sakti mandraguna dan kebal terhadap senjata tajam. Penari
warok adalah pria dan umumnya berbadan besar. Warok mengenakan baju hitam-hitam
(celana gombrong hitam dan baju hitam yang tidak dikancingkan) yang disebut
Penadhon. Penadhon ini sekarang juga digunakan sebagai pakaian budaya resmi
Kabupaten Ponorogo. Warok dibagi menjadi dua, yaitu warok tua dan warok muda.
Perbedaan mereka terletak pada kostum yang dikenakan, dimana warok tua
mengenakan kemeja putih sebelum penadhon dan membawa tongkat, sedangkan warok
muda tidak mengenakan apa-apa selain penadhon dan tidak membawa tongkat.
Senjata pamungkas para warok adalah tali kolor warna putih yang tebal.
5. Pembarong
Pembarong adalah penari yang memiliki peranan paling penting
dalam tari Reog Ponorogo. Pembarong adalah penari yang nantinya akan membawa
Dadak Merak (topeng kepala singa dengan hiasan burung merah dan bulunya di atas
kepala singa) yang tingginya satu setengah meter. Pembarong mengenakan celana
panjang hitam dan baju kimplong (baju yang hanya punya satu cantelan bahu) dan
harus menggigit kayu di bagian dalam kepala singa untuk mengangkat Dadak Merak.
Seorang pembarong haruslah orang yang sangat kuat, karena dia harus bisa
menundukkan Dadak Merak hingga menyentuh lantai dan mengangkatnya lagi ke posisi
tegak. Dadak Merak disimbolkan sebagai Singobarong, dan secara umum Dadak Merak
inilah yang membuat tari Reog Ponorogo menjadi sangat unik, karena bentuk
topengnya yang sangat besar dan khas serta adanya filosofi di dalamnya. Karena
itu, pembarong benar-benar harus memiliki keterampilan dan kemampuan yang
tinggi agar bisa menghidupkan Singobarong yang dimainkannya.
·
Gajah-gajahan
Jenis kesenian ini mirip dengan hadroh atau samproh klasik,
terutama alat-alat musiknya. Perbedaannya adalah terdapatnya sebuah patung
gajah. Perbedaan lainnya adalah kesenian ini tidak memiliki pakem yang tetap
mulai alat-alat musik, gerak tari, lagu, dan bentuk musiknya berubah seiring
perkembangan zaman.
·
Tari Kiprah Glipang
Tari Glipang adalah sebuah tari rakyat yang merupakan bagian
dari pada kesenian tradisional Kabupaten Probolinggo. Tidak ada bedanya dengan
tari Remo yaitu sebuah tari khas daerah Jawa Timur yang merupakan bagian dari
kesenian Ludruk.
Parmo cucu pencipta Tari Glipang mengatakan Tari Glipang
berasal dari kebiasaan masyarakat. Kebiasaan yang sudah turun temurun tersebut
akhirnya menjadi tradisi. Dia menjelaskan, Glipang bukanlah nama sebenarnya
tarian tersebut.
“Awalnya nama tari tersebut “Gholiban” berasal dari Bahasa Arab yang artinya
kebiasaan. Dari kebiasaan-kebiasaan tersebut akhirnya sampai sekarang menjadi
tradisi,” kata Parmo asal warga Pendil Kecamatan Banyuanyar.
Di ceritakan oleh Parmo, Tari Glipang (Gholiban) tersebut
dibawa oleh kakek buyutnya yang bernama Seno atau lebih dikenal Sari Truno dari
Desa Omben Kabupaten Sampang Madura. Sari Truno membawa topeng Madura tersebut
untuk menerapkan di Desa Pendil.
“Ternyata masyarakat Desa Pendil sangat agamis. Masyarakat menolak adanya
topeng Madura tersebut.Karena didalamnya terdapat alat musik gamelan. Sehingga
kakek saya merubahnya menjadi Raudlah yang artinya olahraga,” lanjut Parmo.
Sari Truno kemudian mewariskan kebiasaan tersebut kepada
putrinya yang bernama Asia atau yang biasa dipanggil Bu Karto. Parmo yang saat
itu masih berusia 9 tahun mencoba ikut menekuninya. Tari Gholiban/Tari Glipang
tersebut mempunyai 3 gerakan. Dimana tiap-tiap gerakan tersebut mempunyai makna
dan cerita pada saat diciptakan.
Pertama tari olah keprajuritan atau yang biasa disebut
dengan Tari Kiprah Glipang. Tari Kiprah Glipang ini menggambarkan ketidakpuasan
Sari Truno kepada para penjajah Belanda. Dari rasa ketidakpuasan tersebut
akhirnya menimbulkan napas besar. Tari Kiprah Glipang ini sudah terkenal secara
Internasional dan sudah mendapatkan beberapa piagam perhargaan.
“Tari Kiprah Glipang pernah menjadi 10 besar tingkat nasional tahun 1995.
Selain itu juga pernah datang ke Istana Presiden di Jakarta sebanyak 5 kali
diantaranya waktu menyambut kedatangan Presiden Kamboja dan Presiden Pakistan.
Saya juga pernah diundang ke Jakarta waktu peringatan HUT Kemerdekaan RI yang
ke- 39,” tambah Parmo.
Tari Kiprah Glipang yang telah diciptakan oleh Sari Truno
benar-benar serasi dan sejiwa dengan pribadi penciptanya. Jiwa Sari Truno yang
sering bergolak melawan prajurit-prajurit Belanda pada waktu itu diekspresikan
melalui bentuk tari ini.
Kedua, Tari Papakan yang mempunyai makna bertemunya
seseorang setelah lama berpisah.”Waktu itu digambarkan bertemunya Anjasmara
dengan Damarwulan.Dimana waktu itu Damarwulan diutus untuk membunuh
Minakjinggo. Akhirnya Damarwulan berhasil dengan dibantu oleh 2 istri
Minakjinggo. Tapi sebelum bertemu Anjasmara, Damarwulan di hadang oleh Layang
Seto dan Layang Kumitir di Daerah Besuki,” jelas Parmo.
Ketiga, Tari Baris yang menggambarkan para prajurit
Majapahit yang berbaris ingin tahu daerah Jawa Timur.”Waktu itu prajurit
Majapahit tersebut berbaris di daerah Jabung untuk mengetahui daerah Jawa
Timur.Awalnya tari ini berawal dari badut, lawak, dan kemudian berubah menjadi
cerita rakyat,” terang Parmo.
Menurut Parmo yang menjadi latar belakang dirinya tetap eksis di Tari Glipang
diantaranya ingin melestarikan budaya yang dibawa oleh kakek buyutnya Sari
Truno.Selain itu kakeknya membawa topeng Madura tersebut dari Madura hanya
dengan naik ikan Mongseng.Parmo juga ingin mengembangkan warisan kakek buyutnya
kepada generasi muda terutama yang ada di Kabupaten Probolinggo.
“Untuk menghormati perjuangan kakek buyut Sari Truno, saya
dan keturunan saya akan tetap melestarikannya sampai kapanpun.Apalagi waktu itu
kakek saya rebutan topeng tersebut dengan sesama orang Madura.Sehingga saya
sampai 7 turunan tidak boleh bertemu dengan saudara dari Madura.Kakek saya juga
naik ikan Mongseng dari Madura ke Jawa, sehingga 7 turunannya diharamkan untuk
makan ikan Mongseng tersebut,” imbuh Parmo.
Kabupaten Sumenep
·
Tari Moang Sangkal
·
Tari Codi' Somekkar
·
Tari Gambu
·
Musik Saronen
·
Musik Tong-tong
·
Musik gambus
·
Batik Tulis, sentra batik tulis di
Sumenep terdapat di desa Pakandangan Barat Kecamatan Bluto,
·
Keris, sentra batik tulis di Sumenep
terdapat di desa Aeng tong tong dan desa desa Palongan Kecamatan Bluto,
·
Sentra Ukiran Sumenep Madura terdapat di
desa Karduluk,
·
Sentra pembuatan perahu Madura terdapat
di desa Slopeng dan Pulau Sapudi,
·
Sentra Pembuatan Topeng Madura
·
Mamaca
·
Kalenengan Karaton
·
Tandha'
·
Tan-pangantanan
·
Topeng dhalang
Tari Topeng Dalang Madura merupakan suatu kebudayaan yang
tinggi nilainya yang berasal dari kabupaten Sumenep, Madura. Seni topeng ini
sangat menarik perhatian para turis, baik domestik, maupun mancanegara. Disebut
topeng (tokop) sesuai dengan perannya masing-masing. Dinamakan Topeng
Dalang karena jalan ceritanya dibawakan oleh seorang dalang, kecuali
semar, bagong, petruk, garing yang disebut panakawan. Seorang dalang harus mempunyai
kemampuan mengatur jalannya cerita dengan suara yang berbeda, baik suara
laki-laki maupun suara perempuan, juga harus pandai membawakan kidung (ngejung)
sesuai dengan peran tiap-tiap pemain. Semua pemainnya terdiri atas laki-laki
dan tidak biasa pemain topeng dari wanita.
Para pemain topeng dibedakan atas peran putri dan peran
putra, sedangkan peran putra dibedakan atas tarian yang halus, menengah dan
keras. Dan biasanya diikuti dengan klenengan yang sesuai. Topeng dalang Madura
di Sumenep dibedakan 2 versi, yaitu versi kalianget dan versi slopeng(dasuk).
Kedua jenis versi itu sama-sama menarik perhatian mancanegara. Terbukti sudah
pernah dipentaskan diluar negeri yaitu perancis, jepang,amerika serikat, dan
belgia dengan bayaran yang sangat tinggi, yang menambah devisa negara.
VERSI KALIANGET:
-Pakar: Sabidin
-Ekstranya: Branyak (putra kembang dan tarian piutri kembar)
-Tokop (topeng) tokoh kasar, kumisnya hanya dengan dicat
hitam
-Gungsingnya hanya di kaki kanan (bagi tokoh kasar)
-warna tokop tertentu berbeda (misalnya: Gatot Kaca merah)
-Tariannya lebih sederhana
-Panakawan: Semar dan bagong
VERSI SLOPENG (DASUK):
-Pakar : Supakra
-Ekstranya: kloro tonjong soto(tari tunggal dan tari putri
kembar)
-Rape’nya: memanjang dibagian samping kiri dan kanan
-Tokop tokoh kasar kumisnya terbuat dari iju’ hitam (seperti
sikat)
-Gungsingnya dikedua kakinya
Warna tokop tertentu berbeda (misalnya: Gatot kaca putih)
-Tariannya: lebih bervariasi
-Panakawan: Semar, Bagong, petruk, garing.
·
Lodrok
·
Sape Sono'
·
Kerapan Sapi
·
Upacara Adat Nyadar
·
Upacara Adat penganten Ngekak Sangger
·
Semalam di Karaton
·
Prosesi Pelantikan Arya Wiraraja
·
Tellasan Topak
Kabupaten Trenggalek
·
Tari Turonggo Yakso. Merupakan tarian
khas Kabupaten Trenggalek.
Kabupaten Tulungagung
·
Wayang Kulit Purwo/Ringgit Purwo
·
Jaranan sentherewe
·
Reog Kendang
·
Tiban
·
Jedor
·
Kentrung
sebuah kesenian asli Indonesia
yang berasal dari pantai utara Jawa. Kesenian ini menyebar dari wilayah Semarang,
Pati, Jepara, hingga Tuban - dimana kesenian ini dinamakan Kentrung Bate,
karena berasal dari desa Bate, Bangilan, Tuban.
Kentrung Bate pertama kali dipopulerkan oleh Kiai Basiman di era zaman
penjajahan Belanda tahun 1930-an.
Seni Kentrung diiringi alat musik berupa tabuh timlung
(kentheng) dan terbang besar (rebana).
Seni
Kentrung sendiri syarat muatan ajaran kearifan lokal.
Dalam
pementasannya, seorang seniman menceritakan urutan pakem dengan rangkaian
parikan dengan menyelipkan candaan - candaan yang lucu di tengah-tengah pakem
walaupun tetap dengan parikan yang seolah dilakukan luar kepala.
Parikan
berirama ini dilantunkan dengan iringan dua buah rebana yang ditabuh sendiri.
Beberapa
lakon yang dipentaskan di antaranya Amat Muhammad, Anglingdarma, Joharmanik,
Juharsah, Mursodo Maling, dan Jalak Mas.
Berdasarkan pernyataan yang didapat dari situs forum budaya
Kesenian Kentrung dianggap terancam punah karena gagal melakukan regenerasi.
Sejumlah
orang yang masih mampu memainkan kesenian ini dan kebanyakan sudah lanjut usia.
Isyu yang
kini ada di antara para pemain Seni Kentrung adalah permintaan agar pemerintah
segera mendokumentasikan kesenian tradisi, termasuk kentrung bate, dengan
harapan terdokumentasinya (tidak hilang) budaya dan kesenian asli daerah.
Dokumentasi
kentrung dianggap oleh pemainnya sangat penting mengingat sudah tidak ada
penerus dalam kesenian ini
·
Manten kucing
·
Langen Beksan
Kota malang
·
Topeng Malangan (Topeng Malang), namun
kini semakin terkikis oleh kesenian modern. Gaya kesenian ini adalah wujud
pertemuan tiga budaya (Jawa Tengahan, Madura, dan Tengger).Bantengan.
Kota Surabaya
·
Ludruk
Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur.
Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup
kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang
kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang
diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.
Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat
penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski kadang-kadang ada
bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan
logat yang berbeda. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah
diserap oleh kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkutan umum,
etc).
Sebuah pementasan ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo dan
diselingi dengan pementasan seorang tokoh yang memerakan "Pak Sakera",
seorang jagoan Madura.
Ludruk
berbeda dengan ketoprak dari Jawa Tengah. Cerita ketoprak sering diambil dari
kisah zaman dulu (sejarah maupun dongeng), dan bersifat menyampaikan pesan
tertentu. Sementara ludruk menceritakan cerita hidup sehari-hari (biasanya)
kalangan wong cilik
·
Tari Remo
Tari Remo adalah salah satu tarian untuk penyambutan tamu
agung, yang ditampilkan baik oleh satu atau banyak penari. Tarian ini berasal
dari Jombang, Jawa Timur. Tarian ini pada awalnya merupakan tarian yang
digunakan sebagai pengantar pertunjukan ludruk. Namun, pada perkembangannya
tarian ini sering di tampilkan terpisah sebagai sambutan atas tamu kenegaraan,
ditarikan dalam upacara-upacara kenegaraan, maupun dalam festival kesenian
daerah. Tarian ini sebenarnya menceritakan tentang perjuangan seorang pangeran
dalam medan laga. Akan tetapi dalam perkembangannya tarian ini menjadi lebih sering
ditarikan oleh perempuan, sehingga memunculkn gaya tarian yang lain: Remo Putri
atau Remo gaya perempuan.
Tata Gerak
Karakteristika yang paling utama dari tari Remo adalah
gerakan kaki yang rancak dan dinamis. Gerakan ini didukung dengan adanya pemakaian
lonceng-lonceng yang dipasang di pergelangan kaki. Lonceng ini berbunyi saat
penari melangkah atau menghentak di panggung. Selain itu, karakteristika yang
lain yakni gerakan selendang atau sampur, gerakan anggukan dan gelengan kepala,
ekspresi wajah, dan kuda-kuda penari membuat tarian semakin atraktif.
Tata Busana
Busana dari penari Remo ada beberapa macam gaya busana:
a.
Gaya Surabayan
Terdiri atas ikat kepala merah baju tanpa kancing yang
berwarna hitam dengangaya kerajaan abad ke-18, celana sebatas pertengahan betis
yang dikait dengan jarum emas, sarung batik Pesisiran yang menjuntai hingga ke
lutut, setagen yang diikat di pinggang, serta keris menyelip di belakang.
Penari memakai dua selendang, yang mana satu dipakai di pinggang dan yang lain
disematkan di bahu, dengan masing-masing tanngan penari memegang masing-masing
ujung selendang. Selain itu, terdapat pula gelang kaki yang berupa kumpulan
loncengyang dilingkarkan di pergelangan kaki.
b.
Gaya Sawunggaling
Pada dasarnya busana yang dipakai sama dengan gaya
Surabayan, namun yang membedakan yakni penggunaan kaus putih berlengan panjang
sebagai ganti dari baju hitam kerajaan
c.
Gaya Malangan
Busana gaya Malangan pada dasarnya juga sama dengan gaya
Surabayan, namun yang membedakan yakni pada celananya yang panjang hingga
menyentuh mata kaki serta tidak disemat dengan jarum.
d.
Gaya Jombangan
Busana gaya Jombangan pada dasarnya juga sama dengan gaya
Sawunggaling, namun perbedaannya adalah penari tidak menggunakan kaus tetapi
menggunakan rompi.
e.
Remo Putri
Remo putri mempunyai busana dengan gaya remo asli. Penari
memakai sanggul, memakai mekak hitam untuk menutup bagian dada, memakai rapak
untuk munutup bagianpinggang sampai ke lutut, serta hanya menggunakan satu
selendang saja yang disematkan di bahu.
Pengiring
Musik yang mengiringi tari remo ini adalah gamelan, yang
biasanya terdiri atas bonang barung/babok, bonang penerus, saron, gambang,
gender, slentem siter, seruling, kethuk, kenong, kempul, dan gong. Adpun jenis
irama yang sering dibawakan untuk mengiringi tari remo adalah Jula-Juli dan
Tropongan, namun dapat pula berupa gending Walangkekek, Gedok Rancak, Krucilan
atau gending-gending kreasi baru. Dalam pertunjukan ludruk, penari biasanya
menyelakan sebuah lagu di tengah-tengah tariannya
·
Kidungan, adalah pantun yang dilagukan,
dan mengandung unsur humor